Terengah
Pukul 4 sore hari itu cuaca ditempatku lumayan mendung dan sedikit ada gemuruh dari langit yang terdengar ditelingaku. Tringgggg... bunyi notifikasi dihandphoneku
"Kita udahan aja." aku membacanya dari pesan whatshapp dan segera ku balas
"Baiklah itu maumu." Sebelum kata pisah itu terucap olehnya kita memang sudah sering bertengkar. Hari itu aku turuti kemauannya.
Lama ia tidak membalas pesanku lagi aku pikir ia terima dengan balasanku terakhir kali.
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Itu lama sekali. Aku membuang tiga tahun hidupnya begitu saja. Dia baik, hidupnya baik. Dia anak satu satunya. Bapaknya punya pekerjaan, ibunya menyukaiku. Sedangkan aku jahat, hidupku juga. Bapakku bekerja tetapi uangnya habis tidak tau kemana, mama ku yang cari uang. Itu mengapa sejak awal aku tahu kami tidak bisa berhenti pada tempat yang sama. Itu mengapa pula, selama ini aku hanya menunggu ia menyerah denganku, sebagaimana hidupku sendiri.
Seseorang itu tidak tetap. Selalu berubah, berganti, dan berhenti. Bapak berubah. Bapak berganti menjadi laki-laki beringas yang merasa paling kuat. Bapak berhenti menjadi manusia sejak kali pertama ia melempar gelas hampir mengenaiku, memecahkan lemari kaca yang berada didapur. Aku melihat ada darah yang mengalir dari sana. Melewati dahi, mata, pelipis, hingga masuk ke mulut. Tidak. Itu terasa sakit. Saat aku dipaksa untuk masuk ke kamar mandi dan dikunci sendirian didalam sana. anak kecil mana yang pada saat itu tidak menangis?. Dan mama selalu berusaha menolongku.
Mama butuh pertolonganku, tapi bapak mungkin butuh pertolongan juga. Mana mungkin ada orang sekeji itu. Tidak mungkin seorang laki-laki menyakiti perempuan yang dicintainya kan?
Satu waktu aku bertanya pada Tuhan, mengapa ini harus dinamakan hidup? Berulang kali aku menyampaikan pertanyaan yang sama, tapi Tuhan tidak pernah menjawabnya. Lantas kupikir, mungkin diam-Nya adalah jawaban. Mungkin hidup memang tidak selalu bisa mengizinkan aku bersuara. Aku cuma bisa diam dan seolah paham. Tapi kata mama, Tuhan itu ada. Dan aku sudah terlalu tua untuk bertanya, iya tapi Tuhan adanya di mana? Jadi, tiap kali mama bicara begitu, aku hanya diam, dan membiarkannya membelai rambutku.
Ngomong-ngomong, itu bukan kali pertama ia memutuskan untuk pergi, maksudku, untuk benar-benar pergi. Kami sebenarnya sudah sering berhadapan dengan percakapan semacam itu. Percakapan-percakapan yang membosankan. Aku tahu sudah lama ia ingin putus, tapi ia masih ragu untuk mengucapkan kata putus, hingga akhirnya pesan itu tersampaikan. Beberapa minggu sebelumnya, ia masih berusaha mencari penyelesaian untuk cerita kami. Tapi tidak pernah menemukan titik terangnya, karena masalahnya selalu sama: ia merasa mengerti aku, padahal tidak, dan sebaliknya.
Aku menyadari bahwa semakin mengenalnya, ternyata semakin menjauhkanku darinya. Mungkin seharusnya, beberapa hal tidak perlu terjadi. Mungkin.
Komentar
Posting Komentar